MEMBANGUN SEMANGAT NASIONALISME DAN PATRIOTISME DI ERA GLOBAL
Persoalan nasionalisme dan patriotisme di era global sebenarnya bukan hanya masalah yang dialami oleh Indonesia. Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya dengan kekuatan politik, ekonomi, budaya, dan hankam yang tak tertandingi pun harus berdaya upaya sekeras-kerasnya dalam membangun semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan warganya. Demikian pula dengan negara-negara lain. Bahkan Malaysia, misalnya, beberapa waktu belakangan ini tengah ramai diskusi dan program tentang pembangunan nasionalisme dan patriotisme di negara tersebut.
Jika kita menuliskan kata-kata: “patriotisme” atau “semangat kebangsaan” di program pencarian situs internet (seperti: Google), maka hampir sebagian besar dipenuhi situs-situs dari negeri jiran tersebut. Situs-situs dari Malaysia ini tidak hanya berasal dari kementerian dalam negeri atau departemen pertahanan di sana, tetapi juga dari departemen pendidikan, organisasi politik, lembaga kajian, dan swasta. Sedangkan situs dari Indonesia hanya sedikit, rata-rata berasal dari situs TNI, Dephan, atau Bappenas. Itupun sebagian merupakan arsip dari GBHN atau Repelita di masa Orde Baru.
Memperhatikan kenyataan di atas dimana masalah pembangunan nasionalisme dan patriotisme saat ini tengah menghadapi tantangan yang berat, maka perlu dimulai upaya-upaya untuk kembali mengangkat tema tentang pembangunan nasionalisme dan patriotisme. Apalagi di sisi lain, pembahasan atau diskusi tentang nasionalisme dan patriotisme di Indonesia justru kurang berkembang (atau mungkin memang kurang dikembangkan).
Beberapa Pandangan tentang Nasionalisme dan Patriotisme
Nasionalisme adalah masalah yang fundamental bagi sebuah negara, terlebih-lebih jika negara tersebut memiliki karakter primordial yang sangat pluralistik. Klaim telah dicapainya bhinneka tunggal ika, apalagi lewat politik homogenisasi, sebetulnya tidak pernah betul-betul menjadi realitas historis, melainkan sebuah agenda nation-building yang sarat beban harapan. Oleh sebab itu, ia kerap terasa hambar.
Dengan penafsiran tersendiri, ini merupakan bentuk imagined society seperti istilah Benedict Anderson. Benedict Anderson (1999) menggunakan istilah imajinasi untuk menggambarkan kemiripan makna tentang fantasi. Penjelasannya lebih condong menggunakan analisis sejarah politik untuk menjelaskan kaitan antara imajinasi kolektif yang mengikat suatu komunitas. Orang disatukan sebagai suatu negara karena persamaan identitas darah, ideologi, dan kepentingan. Kalau mau jujur, gagasan Indonesia sebagai negara adalah produk kolonialisme. Kesatuan teritori dagang di bawah Belanda, Inggris, kemudian diambil alih Jepang dan diwariskan ke pemerintahan bersama warga lokal yang bernama Indonesia.
Indonesia adalah laboratorium sosial yang sangat kaya karena pluralitasnya, baik dari aspek ras dan etnis, bahasa, agama dan lainnya. Itu pun ditambah status geografis sebagai negara maritim yang terdiri dari setidaknya 13.000 pulau. Bahwa pluralitas di satu pihak adalah aset bangsa jika dikelola secara tepat, di pihak lain ia juga membawa bibit ancaman disintegrasi. Karakter pluralistik itu hanya suatu pressing factor dalam realitas ikatan negara.
Negara itu sendiri pada hakikatnya merupakan social contract, seperti istilah Rousseau, yang secara intrinsik selalu memiliki tantangan disintegrasi. Yang menjadi soal, seberapa besar derajat ancaman itu dan sebarapa baik manajemen penyelesaiannya. Ada faktor contagion, bahwa langkah yang satu dapat ditiru yang lain, akan memperkuat tekanan itu terlebih-lebih bila masing-masing mengalami pengalaman traumatik yang mirip.
Konsepsi pembentukan Indonesia sendiri memang lebih relevan, seperti istilah David Beetham, sebagai sebuah produk historis, bukan a fact of nature. Ini selaras dengan asumsi bahwa “semua wilayah nusantara bekas jajahan Belanda adalah wilayah Indonesia”. Dengan demikian masalah legalitas wilayah terpecahkan secara lebih mudah dan diterima oleh rakyatnya maupun komunitas internasional. Lewat landasan yang sama, maka rasional untuk memisahkan diri bagi bagian-bagian wilayah yang termasuk bekas jajahan Belanda itu tidak kuat.
Perlu dicatat bahwa cita-cita kolektif melalui pembentukan suatu negara antara lain merupakan itikad mulia untuk bekerja sama senasib sepenanggungan melalui kerangka nasionalisme dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat. Nasionalisme itu sendiri sebetulnya adalah pendefenisian identitas kebangsaan dengan siapa kita ingin bekerja bersama dalam mencapai bonum publicum, apakah karena ikatan etnis, agama, wilayah/teritorial atau lainnya atau kombinasi sebagian atau seluruhnya. Seperti kata Ernst Gellner, ada rasional pembangunan sebagai alasan eksistensi negara.
Soekarno dianggap paling mewakili semangat patriotisme dan nasionalisme generasi muda Indonesia di masanya. Baginya, martabat dan identitas diri sebagai bangsa merdeka sangat penting. Proklamator Kemerdekaan Indonesia lainnya, Bung Hatta pernah mengutip pandangan Prof. Kranenburg dalam Het Nederlandsch Staatsrech, “Bangsa merupakan keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena persamaan nasib, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, dan oleh karena jasa bersama. Pendeknya, oleh karena ingat kepada riwayat (sejarah) bersama yang tertanam dalam hati dan otak”.
Dalam perspektif yang kurang lebih sama, Jenderal Ryamizard Ryacudu yang saat menjabat sebagai KSAD sangat getol memompakan semangat patriotik kepada berbagai kalangan menyatakan bahwa rasa kebangsaan merupakan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tumbuh secara alamiah karena adanya kesamaan budaya, sejarah dan aspirasi perjuangan yang membuahkan semangat untuk maju bersama. Dari semangat kebangsaan akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Dalam perspektif seperti itu, menurut Ryamizard, kita akan mampu meneriakkan kata-kata: ‘Merdeka atau Mati’ dengan penuh penghayatan yang sebenarnya.
Di sini, kepentingan terhadap nasionalisme dipupuk dengan sikap patriotisme yang tinggi. Nasionalisme tidak harus hidup dalam bayang-bayang—memakai bahasa Benedict Anderson, imagined community—tetapi harus dilaburi dengan sikap jujur dan berani mengambil risiko. Seluruh kelompok intelektual muda Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan ambil peran dalam partai-partai dan organisasi-organisasi pergerakan.
*http://inspirasitabloid.wordpress.com
Kemana perginya nasionalisme ?
Mantan anggota Komite Eksekutif PSSI, Tony Aprilani (Wakil Ketua KPSI) memastikan jika klub-klub ISL takkan melepas pemainnya memperkuat timnas. Tony beralasan jika mayoritas klub ISL sudah tidak lagi mengakui Djohar sebagai ketua PSSI.
"Jangan didik masyarakat untuk tidak menghormati aturan berdalih kepentingan nasional. Klub-klub ISL adalah klub yang menurunkan Djohar Arifin dan telah memilih Komite Eksekutif PSSI yang baru di Kongres Luar Biasa Ancol pada 18 Maret 2012 lalu. Bagaimana mungkin logikanya mereka akan melepas pemain? Kan mereka sudah tidak mengakui Djohar?" ucap Tony di Jakarta, Selasa (25/12).
"Masyarakat jangan dibodohi dan jangan membuat bodoh masyarakat. PSSI tidak bisa seenaknya memanggil pemain dari klub ISL untuk ke Timnas," imbuhnya.
Terkait dengan komposisi pemain timnas, Tony menganggap timnas bentukan dari pemain ISL memiliki materi pemain yang lebih berkualitas. Terlebih nantinya ada pelatih terbaik untuk seukuran Indonesia, yakni Alfred Riedl.
"Formasi tim sudah terbentuk sejak persiapan piala AFF kemarin dan Timnas dari ISL memang berikutnya diproyeksikan ke Piala Asia. Tinggal dikumpulkan saja. Riedl kita panggil lagi. Bukan sesuatu yang berlebihan jika klub-klub ISL tidak bersedia melepas pemainnya, karena ini soal prinsip, dan jangan mengajari masyarakat untuk tidak menghormati dan mematuhi prinsip," jelasnya.
Mengenai turun tangannya KONI Pusat untuk mempersiapkan Timnas ke SEA Games, Tony mengaku setuju dengan gagasan tersebut. Sebab, dalam situasi seperti ini peranan pemerintah memang diperlukan dan sesuatu yang sah dengan mengingat peranan KONI dan juga izin FIFA dalam mengatasi dualisme organisasi dan dualisme Timnas.
"Silakan pemerintah melalui KONI memilih timnas mana yang terbaik untuk mewakili Indonesia. Tinggal dipilih aja, Timnas mana yang akan dikirim," pungkasnya. (ant/mac)
Sumber: Bola.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar